Celuk, Peling, Prejurit: “Ngobrol Bawang Merah, Ngobrol Masa Depan”

Tiga subak Celuk, Peling, dan Prejurit bersatu. Obsesi mereka sama, menjadikan Desa Medahan sebagai sentra bawang merah. Bukan sekadar tanam, tapi bagaimana bawang merah bisa lebih efisien, tahan penyakit, dan tetap jadi tumpuan hidup. Ngobrol Bawang Merah, Ngobrol Masa Depan dengan Wayan Darmayuda, S.P. penyuluh pertanian dari Kintamani.

Sep 18, 2025 - 05:25
Sep 18, 2025 - 06:22
 0  16
Celuk, Peling, Prejurit:  “Ngobrol Bawang Merah, Ngobrol Masa Depan”

Celuk, Peling, Prejurit:

“Ngobrol Bawang Merah, Ngobrol Masa Depan”

Bale subak itu basah oleh hujan rintik. Di dalamnya, Krama Subak (petani) duduk rapat. Bukan membicarakan upacara atau rapat banjar. Mereka serius membahas satu hal yang bagi orang kota hanya sebatas bumbu dapur yaitu bawang merah.

Tiga subak Celuk, Peling, dan Prejurit bersatu. Obsesi mereka sama, menjadikan Desa Medahan sebagai sentra bawang merah. Bukan sekadar tanam, tapi bagaimana bawang merah bisa lebih efisien, tahan penyakit, dan tetap jadi tumpuan hidup.

Adalah Wayan Darmayuda, S.P. Anak petani dari Songan, Kintamani. Sejak kecil tangannya akrab dengan lumpur, matanya terbiasa menatap hijau bawang merah. Kini, setelah menyandang gelar sarjana pertanian, ia tetap tak mau jauh dari tanah. Ia memilih jalan yang sama seperti orang tuanya bertani. Bedanya, ia juga jadi penyuluh.

“Saya mendapat mandat dari DPW Perhiptani Bali, atas permintaan Dinas Pertanian Gianyar. Tugasnya jelas, menjadi narasumber mendampingi petani di Desa Medahan, Blahbatuh, Gianyar,” Darmayuda mengawali pembicaraannya.

Ia bukan sekadar memberi teori, tapi membagi pengalaman. Membedah habis soal bawang merah. Dari kualitas bibit, pemupukan, penyiraman, hingga persoalan hama penyakit tanaman. Semua dengan bahasa sederhana.

Belajar dan berinovasi

Di hadapan para petani Subak Celuk, Wayan Darmayuda tidak segan mengungkapkan perbedaan hasil panen antara Medahan dan Songan. Dengan nada tenang, ia menjelaskan bahwa karakter lahan memang sangat menentukan produktivitas bawang merah.

“Di Medahan, karena lahannya sawah, produksi bawang merah masih berada di angka sekitar 11 ton per hektare. Sedangkan di Songan, yang tanahnya berpasir dan berada di kaldera gunung, hasilnya bisa mencapai 22,5 ton per hektare,” ungkapnya.

Darmayuda menekankan, angka ini bukan untuk melemahkan semangat, melainkan sebagai bahan perbandingan dan motivasi. “Memang dari segi produksi, lahan sawah agak kurang maksimal dibandingkan dengan lahan berpasir di Songan Kintamani. Tapi bukan berarti tidak bisa ditingkatkan,” ujar Lulusan di Fakultas Pertanian Universitas Udayana tahun 2003.

Ia pun memberi apresiasi tinggi terhadap petani Medahan. “Walau hasilnya belum maksimal dibanding Songan, semangat juang teman-teman di Medahan luar biasa. Itu modal utama untuk terus belajar dan berinovasi dalam budidaya bawang merah,” katanya, yang langsung disambut tepuk tangan para petani.

Para petani mengangguk, maklum. Mereka paham tiap tanah punya watak sendiri. Darmayuda lalu mengingatkan soal bibit. “Yang paling baik ditanam umur 50–60 hari. Itu kuncinya, supaya tanaman lebih tahan serangan OPT,” tandas penyuluh pertanian teladan tahun 2024.

Mempengaruhi inflasi

Di tengah diskusi yang penuh semangat itu, hadir sosok yang tak pernah jauh dari denyut pertanian Gianyar Ni Made Yuliani Putri, SP., M.Agb. Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Gianyar ini duduk bersahaja di antara petani. Sesekali ia menyimak dengan seksama, sesekali ikut menambahkan penekanan pada poin-poin penting yang disampaikan narasumber.

Bagi Yuliani, pendampingan bukan sekadar menghadiri acara seremonial. Ia meyakini bahwa mendengar langsung keluh-kesah petani di bale subak adalah bagian penting dari tugasnya. “Diskusi seperti ini sangat berharga. Dari sini kita tahu masalah riil di lapangan, sekaligus bisa mencari solusi bersama,” ujarnya.

Para petani Medahan pun merasa mendapat energi tambahan. Kehadiran seorang pejabat daerah di ruang diskusi kecil itu memberi pesan kuat mereka tidak sendiri. Ada pemerintah yang bersama-sama menjaga komoditas strategis seperti bawang merah.

“Bawang merah ini kan bukan sekadar tanaman. Ia bisa mempengaruhi inflasi. Jadi harus kita rawat dengan ilmu, teknologi, dan kebersamaan,” tegas Yuliani.

Moeler momok bawang merah

Obrolan makin mengalir. Tentang pemupukan, Darmayuda merekomendasikan cara kocor. “Hasilnya bagus, tapi ya memang butuh waktu lebih lama,” katanya. Soal penyiraman, ia menekankan fleksibilitas. “Sesuaikan dengan lahan. Kalau di Songan, paling cocok pakai sprinkle. Lebih hemat biaya, lebih cepat, dan berpengaruh ke ongkos produksi.”

Diskusi di bale subak makin serius ketika salah satu petani menanyakan soal penyakit moeler penyakit layu yang kerap jadi momok di lahan bawang merah. Wayan Darmayuda langsung memberi perhatian khusus.

“Moeler ini ibarat hantu di bawang merah,” katanya. “Kalau tidak ditangani sejak awal, bisa habis satu hamparan.”

Menurut Darmayuda, kunci pertama adalah penggunaan bibit sehat dan bermutu, bukan bibit sisa panen yang sudah lemah. Bibit sebaiknya dipilih dari umbi yang bersih, tidak ada bercak, dan berusia cukup.

Kedua, pengaturan drainase. Lahan jangan sampai tergenang air, karena kondisi lembap memicu perkembangan jamur penyebab moeler.

Ketiga, rotasi tanaman. “Jangan menanam bawang merah terus-menerus di lahan yang sama. Sisipkan palawija lain, supaya tanah beristirahat dan jamur tidak berkembang biak,” jelasnya.

Keempat, perlakuan fungisida atau agen hayati sesuai dosis anjuran. Darmayuda menekankan bahwa penggunaan agen hayati kini menjadi pilihan lebih ramah lingkungan, sekaligus menekan biaya jangka panjang.

“Kalau semua langkah ini dilakukan, potensi serangan moeler bisa ditekan. Tidak hilang sama sekali, tapi cukup terkendali,” tutur penyuluh pertanian kini bertugas di Wilbin Desa Songan B, Kecamatan Kintamani.

Petani pun manggut-manggut. Bagi mereka, jawaban itu bukan hanya sekadar teori. Tapi bekal nyata untuk menghadapi musim tanam berikutnya.

Di balik penjelasan teknis itu, para petani menangkap sesuatu yang lebih dalam bukan hanya soal teknologi, tapi soal sikap. Bahwa setiap lahan tak bisa diperlakukan sama. Yang dibutuhkan bukan meniru, melainkan menyesuaikan.

Medahan memang belum bisa menandingi produksi Songan. Tapi ada satu hal yang mereka punya lebih banyak semangat. Dan dalam pertanian, sering kali semangat jauh lebih menentukan daripada angka.

Kontributor DPD Perhiptani Kabupaten Gianyar

What's Your Reaction?

Like Like 1
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0