Silviana dan Petani Sejahtera: “Meracik Senjata Alami Lawan Hama, Peluang Bisnis Menjanjikan”
Konsep Pos Pelayanan Agens Hayati belakangan menjadi perbincangan hangat di kalangan petani. Bukan tanpa alasan, PPAH diyakini sebagai garda terdepan revolusi pertanian ramah lingkungan. Kiprahnya “Petani Sejahtera” di Desa Sengguruh, Kepanjen Malang Jawa Timur, ada kemiripan dengan P4HT (Pemberdayaan Petani dalam Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu) di Subak Pangkung Jajung, Kabupaten Jembrana Bali.

Silviana dan Petani Sejahtera:
“Meracik Senjata Alami Lawan Hama, Peluang Bisnis Menjanjikan”
Di tengah tantangan perubahan iklim, degradasi lahan, dan tingginya ketergantungan petani pada pupuk serta pestisida kimia, muncul gerakan baru yang mencoba mengembalikan harmoni antara tanah, tanaman, dan lingkungan. Gerakan itu lahir dari para petani sendiri, dengan dukungan penyuluh dan akademisi, dalam wadah Pos Pelayanan Agens Hayati (PPAH).
Pekan lalu, dunia pertanian kembali mendapat inspirasi segar melalui program Bertani On Cloud (BOC) Volume 321. Dalam episode tersebut, hadir sosok yang penuh dedikasi, Silviana, seorang penyuluh pertanian yang bermarkas di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kepanjen, Malang – Jawa Timur.
Dengan semangat yang membara untuk memajukan sektor pertanian, Silviana tampil berdampingan bersama Ibu Sukarlis, pendiri PPAH Petani Sejahtera Malang. Keduanya membagikan pengalaman, gagasan, dan kiat-kiat praktis untuk mendukung kesejahteraan petani, khususnya dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin modern.
Dalam wawancara eksklusif bersama awak media perhiptanibali.com, Silviana berbagi cerita tentang perjuangannya mendampingi petani di lapangan. Ia menekankan pentingnya penyuluhan yang adaptif, penggunaan teknologi digital pertanian, serta penguatan kelembagaan petani sebagai kunci menuju pertanian yang berkelanjutan.
Kehadiran Silviana dalam acara BOC kali ini tidak hanya menjadi wujud nyata kiprah penyuluh pertanian di era digital, tetapi juga memberi motivasi baru bagi generasi muda untuk ikut serta mengembangkan dunia pertanian Indonesia.
“Selamat sore, ini dengan Ibu Silviana?” sapa awak media perhiptanibali.com.
“Betul, dengan saya sendiri,” jawabnya ringan. Nada suaranya hangat, khas seorang penyuluh yang terbiasa mendampingi petani.
Dengan suara hangat, Silviana menjawab, acara ini sangat penting. Petani sekarang bukan hanya menanam dan panen, tapi juga menjadi produsen teknologi alami lewat agens hayati. Inilah masa depan pertanian Indonesia.”
Berarti peran PPAH ini bukan hanya soal produksi, tetapi juga soal pemberdayaan, ya Bu?” Lalu, apa harapannya.
“Betul sekali,” jawabnya tegas. “PPAH membuat petani lebih mandiri. Mereka dilatih untuk membuat agens hayati sendiri, sehingga biaya produksi bisa ditekan. Bahkan, beberapa sudah membuka peluang usaha baru. Ini bukan hanya soal pertanian, tapi juga soal ekonomi keluarga.”
Sempat terdengar tawa kecil di ujung telepon, sebelum Silviana menambahkan dengan nada lebih serius. “Menurut saya, inilah masa depan pertanian Indonesia. Kita tidak hanya bicara soal panen, tapi juga kesehatan tanah, keberlanjutan lingkungan, dan ketahanan pangan bangsa.”
Obrolan singkat melalui telepon itu meninggalkan kesan kuat. Dari balik suaranya, halus dan bening tergambar keyakinan seorang penyuluh muda yang percaya bahwa perubahan besar bisa dimulai dari sawah, dari petani, dan dari tanah yang kembali sehat.
PPAH, “Pasukan Baik” dari Sawah
Konsep PPAH (Pos Pelayanan Agens Hayati) belakangan menjadi perbincangan hangat di kalangan petani. Bukan tanpa alasan, PPAH diyakini sebagai garda terdepan revolusi pertanian ramah lingkungan.
PPAH merupakan kelompok atau individu petani yang mengembangkan agens hayati – organisme mikro (jamur, bakteri, virus) hingga makro (serangga predator, parasitoid) – untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Menurut Silviana, peran strategis PPAH setidaknya mencakup empat hal penting: Pertama, Pengendalian OPT Ramah Lingkungan Agens hayati seperti Trichoderma sp., Beauveria bassiana, dan Metarhizium anisopliae terbukti efektif melawan patogen serta hama tanpa merusak ekosistem. Kedua, Meningkatkan Kesehatan Tanah
Aplikasi agens hayati memperbaiki kesuburan, meningkatkan mikroba baik, dan mengurangi residu kimia berbahaya. Ketiga, Pemberdayaan Petani dan ke empat, Mendukung Pertanian Organik Agens hayati menjadi fondasi pertanian organik, sejalan dengan tren pangan sehat dunia.
“Jika dulu petani bergantung pada pestisida kimia, kini mereka punya senjata baru yang lebih bersahabat dengan alam,” tegas Silviana.
Dari Pelatihan ke Laboratorium PPAH
Kisah sukses PPAH di Malang tidak bisa dilepaskan dari sosok Ibu Sukarlis. Berawal dari pelatihan perbanyakan APH di UPT Balai Pelatihan Pertanian Nganjuk, ia bersama suami kemudian bertekad mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan.
Pada tahun 2002, lahirlah laboratorium PPAH “Petani Sejahtera” di Desa Sengguruh, Kepanjen. Laboratorium ini berdiri berkat pendampingan UPT Proteksi TPH Jatim dan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten Malang.
Kini, laboratorium tersebut tidak hanya memperbanyak agens hayati (seperti Beauveria, Trichoderma, Metarhizium, Paenibacillus, dan Pseudomonas), tetapi juga memproduksi berbagai inovasi ramah lingkungan: Pupuk Organik Cair (POC), Pestisida Nabati, Eco Enzyme, PGPR, Kompos Plus, hingga pupuk KCl organik dari sabut kelapa.
Di sebuah ruangan sederhana di Desa Sengguruh, Kepanjen, aroma khas fermentasi menyeruak. Di sanalah Ibu Sukarlis, pendiri PPAH Petani Sejahtera, bersama beberapa petani binaannya, meracik “pasukan baik” yang kelak akan menjadi pelindung tanaman di sawah. “Semua dimulai dari bahan dasar yang murah dan mudah didapat,” ujar Sukarlis.
Langkah-Langkah Pembuatan
- Sterilisasi Media
Media seperti beras/jagung dikukus atau dipanaskan hingga benar-benar steril. Proses ini penting agar jamur atau bakteri yang dikembangkan bisa tumbuh optimal tanpa saingan dari mikroba liar. - Inokulasi Bibit Agens Hayati
Setelah dingin, media dicampur dengan bibit agens hayati seperti Trichoderma sp., Beauveria bassiana, atau Metarhizium anisopliae. Proses ini dilakukan dengan hati-hati, menggunakan wadah steril, agar kualitas bibit terjaga. - Fermentasi
Campuran tersebut kemudian disimpan dalam wadah tertutup. Suhu ruangan dijaga stabil, dan fermentasi dibiarkan berlangsung selama beberapa hari hingga jamur atau bakteri tumbuh memenuhi media. - Pengemasan
Setelah siap, produk dikemas dalam botol berukuran 250–500 ml. Botol diberi label sederhana berisi nama produk, jenis agens hayati, dan cara penggunaan. - Uji Coba dan Distribusi
Sebelum dijual, sebagian produk diuji langsung di sawah anggota kelompok. Jika hasilnya baik—misalnya tanaman lebih sehat, tahan penyakit, atau pertumbuhan lebih cepat—barulah produk siap dipasarkan.
Dari Laboratorium ke Sawah
Proses yang tampak sederhana itu sebenarnya menyimpan makna besar. Agens hayati buatan PPAH tidak hanya menjadi produk untuk dijual, tetapi juga dipakai sendiri oleh para petani. Dengan begitu, mereka tidak lagi bergantung pada pestisida kimia yang mahal dan merusak tanah.
“Kami ingin membuktikan bahwa petani bisa membuat teknologinya sendiri. Dengan agens hayati, tanah kembali sehat, hasil panen meningkat, dan biaya produksi bisa ditekan,” tutur Sukarlis dengan senyum bangga.
Dari tangan-tangan sederhana di laboratorium desa inilah lahir “pasukan baik” yang setia menjaga sawah—membawa harapan bagi pertanian yang lebih sehat, mandiri, dan berkelanjutan.
Dipimpin oleh Ibu Sukarlis bersama para petani binaan, laboratorium ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga pusat produksi berbagai produk ramah lingkungan seperti agens hayati, pestisida nabati (pesnab), dan pupuk organik cair (POC).
Modal Produksi
Untuk sekali produksi, modal yang dikeluarkan relatif terjangkau:
- Alat dan bahan : Rp717.000
- Botol (36 x Rp2.500) : Rp90.000
- Listrik : Rp25.000
- Tenaga kerja : Rp100.000
Total Modal: Rp932.000
Dengan modal tersebut, tim mampu menghasilkan 36 botol produk siap jual.
Penjualan dan Laba
Hasil produksi kemudian dipasarkan dengan harga Rp35.000 per botol. Dari 36 botol, total penjualan mencapai: 36 botol x Rp35.000 = Rp1.260.000
Jika dikurangi modal produksi, PPAH berhasil meraup laba bersih Rp328.000 setiap kali produksi.
Lebih dari Sekadar Untung
Namun, bagi Sukarlis dan para anggota PPAH, keuntungan finansial bukanlah tujuan utama. Lebih dari itu, kegiatan ini adalah bagian dari gerakan besar: mengurangi ketergantungan petani pada bahan kimia, memperbaiki kesehatan tanah, sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi keluarga petani.
“Produk kami bukan hanya untuk dijual, tapi juga untuk dipakai sendiri di sawah. Jadi, manfaatnya berlipat: tanah sehat, tanaman kuat, dan petani lebih mandiri,” ujar Sukarlis.
Dengan model sederhana namun berkelanjutan ini, PPAH Petani Sejahtera telah membuktikan bahwa pertanian sehat tidak hanya mungkin diwujudkan, tapi juga bisa menjadi sumber penghidupan yang nyata.
Tak heran, PPAH Petani Sejahtera kerap menerima kunjungan petani dan instansi pertanian dari berbagai daerah.
Dengan semangat penyuluh seperti Silviana, serta pionir lapangan seperti Ibu Sukarlis, gerakan PPAH dipercaya mampu memperkuat ketahanan pangan nasional.
“Kesehatan tanah adalah fondasi ketahanan pangan. Agens hayati adalah kunci menuju pertanian sehat, mandiri, dan berkelanjutan,” pungkas Silviana.
What's Your Reaction?






