Pertanian Bukan Lagi Kuno, tapi Keren!
“Pertanian bukan lagi kuno, tapi keren! Apalagi berprofesi sebagai penyuluh pertanian!” serunya, sembari menunjuk seragam hijau kebanggaan PERHIPTANI Bali yang melekat di tubuhnya. Dihadapan 90 mahasiswa Agroteknologi Darmayasa hadir bukan sekadar berbagi ilmu, tetapi menyalakan api semangat. Dalam forum Discussion Issue and Technology HIMAGROTEK (DISTEC) bertema “Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan Sebagai Peluang Bisnis dan Pemberdayaan Petani Gen Z di Era Digital,”

Pertanian Bukan Lagi Kuno, tapi Keren!
Bak pulang kampung, I Dewa Nyoman Darmayasa, S.P., M.P., kembali berulah. Sosok Penyuluh Pertanian Ahli Muda yang kini menjabat Ketua DPD PERHIPTANI Jembrana sekaligus Ketua Bidang IT DPW PERHIPTANI Bali itu menggetarkan Ruang Nusantara, Agrokompleks Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Dalam forum Discussion Issue and Technology HIMAGROTEK (DISTEC) bertema “Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan Sebagai Peluang Bisnis dan Pemberdayaan Petani Gen Z di Era Digital,” Darmayasa hadir bukan sekadar berbagi ilmu, tetapi menyalakan api semangat.
Dengan nada tegas namun penuh kehangatan, ia lantang berkata
“Pertanian bukan lagi kuno, tapi keren! Apalagi berprofesi sebagai penyuluh pertanian!” serunya, sembari menunjuk seragam biru navy kebanggaan PERHIPTANI Bali yang melekat di tubuhnya.
Kegiatan berlangsung pada Jumat (12/09) dihadiri 90 mahasiswa Agroteknologi dari berbagai kalangan. Acara resmi dibuka oleh Wakil Dekan II FP UNUD, Dr. Widhianthini, S.P., M.Si. Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya peran generasi muda dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan sekaligus menjaga kedaulatan pangan bangsa. “Pertanian berkelanjutan tidak hanya soal produksi, tetapi juga soal bagaimana kita menjaga ketahanan pangan untuk masa depan,” ujarnya.
Senada, Koordinator Program Studi Agroteknologi, Dr. Ida Ayu Putri Darmawati, S.P., M.Si., menambahkan bahwa forum seperti DISTEC diharapkan mampu melahirkan gagasan segar untuk menjawab berbagai persoalan di sektor pertanian, mulai dari degradasi lahan, eksploitasi hutan, hingga ancaman hilangnya plasma nutfah. “Jika plasma nutfah hilang, kita akan kehilangan banyak peluang pemanfaatan ke depan,” tegasnya.
Sebagai penguat diskusi, hadir tiga pembicara yang juga merupakan alumni FP UNUD. Mereka adalah Dr. Ni Wayan Purnami Rusadi, S.P., M.Agb.; I Dewa Nyoman Darmayasa, S.P., M.P., Penyuluh Pertanian Ahli Muda sekaligus Ketua DPD PERHIPTANI Jembrana dan Ketua Bidang IT DPW PERHIPTANI Bali; serta Martana Diputra, SP., MP. dari Astungkara Way.
Lewat pengalaman dan kiprahnya, para narasumber berbagi perspektif tentang peluang bisnis berbasis pertanian berkelanjutan, pemberdayaan petani muda, serta pemanfaatan teknologi digital dalam dunia pertanian.
Dalam pemaparannya, Darmayasa menekankan bahwa digitalisasi pertanian merupakan pintu masuk utama bagi lahirnya generasi petani muda yang lebih inovatif, efisien, dan berdaya saing. “Digitalisasi tidak hanya sebatas penggunaan alat modern, tetapi meliputi penerapan teknologi, internet, dan data dalam seluruh rantai pertanian mulai dari produksi, distribusi, hingga pemasaran,” jelasnya.
Ia menyoroti pentingnya perubahan metode pendidikan pertanian untuk generasi Z. “Pelatihan konvensional dengan metode ceramah sudah tidak relevan lagi. Generasi Z lebih menyukai pembelajaran interaktif, berbasis praktik lapangan, serta didukung teknologi digital seperti e-learning, webinar, atau video tutorial yang bisa diakses kapan saja,” paparnya.
Dalam makalahnya, Darmayasa juga menegaskan perlunya membangun citra baru pertanian. Menurutnya, profesi petani harus dipandang keren, bermakna, dan menjanjikan. “Gen Z bukan hanya sebagai penghasil pangan, tetapi juga harus diposisikan sebagai entrepreneur dan inovator yang mampu mengelola teknologi digital sekaligus menciptakan peluang bisnis baru,” ujarnya.
Sebagai penutup, ia menekankan bahwa pemberdayaan petani Gen Z harus dilandasi kolaborasi, jejaring, serta integrasi antara teknologi, kreativitas, dan jiwa kewirausahaan. “Pertanian bukan sekadar tradisi yang diwariskan. Pertanian adalah masa depan yang inovatif dan berdaya saing,” pungkas Darmayasa.
Dr. Ni Wayan Purnami Rusadi Ajak Mahasiswa Menatap Pertanian Digital 5.0. “Tak kenal maka tak sayang,” begitu Dr. Ni Wayan Purnami Rusadi, S.P., M.Agb., membuka kisahnya di hadapan mahasiswa. Alumni Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang kini mengabdi sebagai dosen di Politeknik Nasional itu bukan hanya seorang akademisi. Ia adalah praktisi yang menapaki jalan panjang dari kebun sederhana di halaman rumah hingga menjejakkan langkah di negeri seberang membawa misi pertanian yang modern sekaligus berkelanjutan.
Dalam forum DISTEC, Dr. Purnami mengajak mahasiswa membayangkan wajah baru pertanian di era digital 5.0. Sebuah konsep di mana teknologi dan internet menjadi mitra petani. “Bayangkan setiap tanaman bisa ‘berbicara’ lewat data. Mulai dari kelembapan dan kesuburan tanah, laju pertumbuhan, hingga kondisi cuaca semuanya terekam dalam bentuk big data. Dari data itulah petani bisa mengambil keputusan cepat dan tepat, sehingga hasil panen lebih optimal,” jelasnya.
Meski begitu, ia menegaskan teknologi hanyalah salah satu kunci. Kunci lain terletak pada kreativitas, inovasi, dan strategi membangun identitas produk. “Produk pertanian tidak cukup hanya berkualitas. Harus ada branding, keunikan yang membuatnya dikenal dan diminati pasar,” ujarnya, penuh penekanan.
Berbekal pengalaman lapang dan akademik, Dr. Purnami menutup pesannya dengan lantang. “Kita butuh generasi muda yang tidak hanya bisa bertani, tetapi juga mampu membaca peluang, mengelola data, dan menghadirkan identitas produk yang membedakan dari yang lain.” Ucapannya disambut tepuk tangan hangat, seolah menjadi penegasan bahwa masa depan pertanian ada di tangan Gen Z.
Pertanian tidak lagi sekadar soal menanam dan memanen. Lebih dari itu, pertanian kini menjelma menjadi laboratorium hidup yang menciptakan sistem berkelanjutan. Itulah pesan utama yang disampaikan Martana Diputra, S.P., M.P. dari Astungkara Way.
Menurut Martana, pertanian regeneratif menyimpan potensi besar bagi generasi muda untuk berkontribusi nyata terhadap masa depan pangan Indonesia. “Generasi muda bisa memulai dengan langkah sederhana namun terstruktur,” ujarnya.
Langkah pertama, kata Martana, adalah membentuk tim anak muda peduli pertanian dengan latar belakang beragam—mulai dari budidaya, teknologi, hingga agribisnis seperti pemasaran dan penjualan. Kolaborasi lintas disiplin inilah yang akan melahirkan solusi nyata.
Langkah kedua adalah bekerja sama dengan kelompok tani berpengalaman. “Tidak perlu memulai dari nol. Libatkan petani yang sudah memiliki niat menuju pertanian ramah lingkungan. Dari mereka, kita belajar sekaligus memperkuat transisi ke sistem pertanian regeneratif,” jelasnya.
Lebih lanjut, Martana menegaskan pentingnya pengambilan data. Dengan mencatat dan membandingkan praktik regeneratif dengan pertanian konvensional, khususnya pada komoditas padi, generasi muda bisa menunjukkan perbedaan nyata baik dari hasil panen maupun dampak lingkungan.
Tak hanya di sisi teknis, Martana juga menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi digital. Hasil pertanian regeneratif dapat dipasarkan lebih luas lewat e-commerce. Nilai produknya pun bisa meningkat melalui storytelling yang kuat, sehingga konsumen tidak hanya membeli hasil panen, tetapi juga memahami nilai, filosofi, dan perjuangan di baliknya.
“Pertanian regeneratif bukan hanya tentang teknik, tapi juga tentang membangun cerita dan gerakan. Inilah potensi besar bagi generasi muda,” tutup Martana penuh optimisme, disambut tepuk tangan hangat para peserta.
Dengan terlaksananya DISTEC, HIMAGROTEK berharap generasi muda, khususnya Gen Z, tak lagi memandang pertanian sebagai sektor kuno. Sebaliknya, mereka justru bisa menjadi wajah baru pertanian Indonesia yang lebih modern, berkelanjutan, dan berdaya saing.
What's Your Reaction?






