Dari Galungan ke Hotel Bintang Lima Pergulatan Bali Menjaga Akarnya

budaya agraris Bali yang berakar pada sistem Subak dan perayaan Galungan, menyoroti ironi alih fungsi lahan pertanian untuk pariwisata. Dibahas pula tantangan dan solusi menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian budaya Bali agar tidak kehilangan jiwanya.

Jul 22, 2025 - 21:48
 0  1
Dari Galungan ke Hotel Bintang Lima  Pergulatan Bali Menjaga Akarnya

Bali, pulau dengan keindahan alamnya, mampu menghipnotis setiap jiwa yang menjejakkan kaki di sana. Sebagai salah satu destinasi pariwisata dunia, Bali dikenal dengan pantainya yang memesona, budayanya yang kaya, dan keramahtamahan masyarakatnya. Tapi tunggu dulu, mari kita ulas lebih dalam apa yang membuat Bali begitu istimewa: bukan hanya pasir putihnya atau sunset Instagramable, melainkan sebuah kebudayaan agraris yang membentang jauh sebelum hotel-hotel mewah berdiri megah.

 

Bayangkan ini: setiap enam bulan Bali menggelar sebuah festival besar, Galungan, perayaan yang secara spiritual penuh makna. Secara harfiah, Galungan berarti "kemenangan", yaitu kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan). Namun, jika kita tilik lebih dalam, Galungan lebih dari sekadar kemenangan spiritual ini juga adalah selebrasi alam, perayaan hasil bumi, dan penghormatan pada kesuburan tanah.

Kalender pawukon, berbasis pada siklus 210 hari, sangat erat dengan pertanian. Kalender ini tidak seperti kalender masehi yang kita kenal, dia hidup dalam ritme alam, selaras dengan siklus pertanaman. Lantas, bagaimana ini terhubung dengan pertanian? Yah, di Bali, waktu tanam, hingga panen, bahkan ritual dipandu oleh kalender ini.

Galungan, sebagai hari raya besar, juga erat kaitannya dengan siklus pertanaman. Tepat sebelum atau sesudah Galungan, banyak sawah di Bali mulai memasuki masa panen. Padi yang baru dipanen, sayur-mayur segar, dan buah-buahan menjadi persembahan utama dalam upacara tersebut. Ini bukan hanya soal berdoa, tapi juga merayakan bumi yang memberikan kehidupan melalui tanah yang subur. Tanaman padi yang tumbuh adalah simbol kehidupan itu sendiri, di mana Dewi Sri, Dewi padi dan kesuburan, dipuja di setiap pematang sawah.

 

Bayangkan sejenak, bagaimana setiap subak (sistem irigasi tradisional Bali) bukan hanya tentang air dan sawah. Setiap tetes air yang mengalir ke lahan-lahan pertanian adalah doa. Dan di balik setiap upacara Galungan, ada berhektar-hektar sawah yang berterima kasih karena telah dirawat dengan baik oleh tangan para petani maupun oleh ritual-ritual spiritual yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. 

Sekarang, mari kita telusuri ke akarnya: budaya agraris. Bali yang kita kenal hari ini, dengan segala keindahan pura dan upacara yang megah, sesungguhnya berasal dari sebuah sistem agraris yang kokoh. Sebelum villa-villa Instagrammable dan coffee shop dengan nama berbau sanskerta muncul, Bali adalah pulau yang hidup dari tanah. Tanah itu menumbuhkan padi, dan padi itu memberikan kehidupan baik secara fisik maupun spiritual.

 

Sistem subak bukan hanya tentang air dan sawah; ia adalah miniatur kehidupan yang dijaga oleh harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Tri Hita Karana, filosofi hidup masyarakat Bali, menekankan pentingnya menjaga hubungan yang seimbang antara ketiga elemen tersebut. Bayangkan jika air tidak mengalir ke sawah? Bukan hanya gagal panen yang terjadi, tapi juga kekacauan spiritual. Tidak ada air, tidak ada padi, tidak ada kehidupan, sebuah rantai yang rapuh jika tidak dijaga dengan baik.

Budaya agraris inilah yang menjadi akar dari kebudayaan Bali. Upacara-upacara besar seperti Ngusaba (ritual pertanian untuk memohon keberkahan dari Dewi Sri) dan Nangluk Merana (mengusir energi negatif dari sawah) adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang mengikat masyarakat Bali dengan alamnya. Di sinilah Bali yang kita kenal hari ini berakar, bukan dari hotel berbintang lima, melainkan dari tanah subur yang menghasilkan padi dan upacara yang menghubungkan manusia dengan alam semesta.

 

Namun, mari kita realistis. Bali yang dulunya dikenal sebagai pulau agraris kini mulai berubah wajah. Sektor pariwisata yang berkembang pesat mulai menggerus lahan-lahan pertanian, yang dulu menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat. Lihatlah kawasan seperti Canggu atau Ubud, yang dulu hamparan sawah sejauh mata memandang, kini menjadi pusat villa-villa mewah dan resort. Alih fungsi lahan dari pertanian ke pembangunan properti pariwisata adalah fenomena yang nyata dan sulit untuk dihentikan.

Sebagai orang Bali, tentunya kita bangga bahwa pulau ini menjadi destinasi favorit dunia. Tapi ada harga yang harus dibayar. Ketika sawah-sawah diubah menjadi resort, ada lebih dari sekadar tanah yang hilang. Budaya agraris Bali, yang merupakan akar dari segala yang indah di pulau ini, perlahan-lahan tergerus. Subak-subak yang dulu menjaga sawah kini berjuang untuk tetap hidup di tengah gempuran pembangunan.

 

Ironisnya, pariwisata Bali yang berkembang pesat sebagian besar didorong oleh kebudayaan agraris yang menjadi daya tarik utama wisatawan. Mereka datang ke Bali bukan hanya untuk menikmati pantai, tetapi juga untuk melihat kehidupan tradisional Bali yang berkaitan erat dengan pertanian. Ketika sawah-sawah berubah menjadi hotel, villa, dan restoran, akar budaya yang menjadi daya tarik utama itu justru mulai hilang. Jadi, kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar ingin menghancurkan akar budaya kita sendiri demi perkembangan ekonomi jangka pendek?

Mari kita bayangkan Bali 50 tahun dari sekarang. Jika semua lahan pertanian berubah menjadi beton, di mana lagi kita bisa menemukan penjor (hiasan bambu) yang berdiri megah di tepi sawah saat Galungan? Bagaimana nasib ritual-ritual pertanian yang dulu begitu lekat dengan kehidupan masyarakat jika sawah-sawahnya sudah digantikan oleh kolam renang hotel?

 

Seperti yang kita tahu, daya tarik utama Bali adalah kebudayaannya yang masih hidup dan terjaga. Para wisatawan datang untuk menyaksikan upacara-upacara di pura, pemandangan sawah terasering, dan kehidupan masyarakat yang masih bersahaja. Namun, jika pembangunan terus menggerus lahan-lahan pertanian, budaya agraris yang menjadi akar dari segala keindahan itu bisa hilang.

Dan pada titik itulah, Bali akan kehilangan jiwanya. Pariwisata yang selama ini membawa keuntungan besar bagi perekonomian pulau ini bisa saja meredup jika budaya agrarisnya hilang. Tidak ada lagi upacara Ngusaba, tidak ada lagi sawah hijau membentang, dan tidak ada lagi ketenangan spiritual yang membuat Bali begitu unik di mata dunia.

 

Jadi, apa solusinya? Apakah kita harus menghentikan semua pembangunan? Tentu saja tidak. Pembangunan penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi keberlanjutan harus menjadi kunci. Pariwisata bisa tetap berkembang tanpa mengorbankan lahan-lahan pertanian. Ini adalah tentang menjaga keseimbangan, seperti filosofi Tri Hita Karana yang sudah mengajarkan kita selama berabad-abad.

 

Beberapa cara untuk menjaga Bali tetap “Bali” antara lain:

Pertanian Berkelanjutan : Mengembangkan sistem pertanian yang lebih modern namun tetap menghargai tradisi lokal. Teknologi pertanian yang efisien dapat meningkatkan hasil tanpa harus mengorbankan banyak lahan.

 

Wisata Berbasis Komunitas dan Pertanian : Mengembangkan pariwisata yang lebih fokus pada wisata edukasi pertanian. Wisatawan bisa diajak untuk lebih mengenal kehidupan pertanian, ikut serta dalam kegiatan bercocok tanam, bahkan terlibat dalam ritual-ritual adat.

 

Peraturan Tata Ruang yang Ketat : Pemerintah daerah bisa menerapkan peraturan yang lebih ketat terkait alih fungsi lahan, dengan mempertahankan area-area pertanian yang strategis dan historis sebagai warisan budaya.

 

Bali yang kita cintai ini adalah pulau dengan kekayaan budaya agraris yang luar biasa. Galungan bukan hanya tentang spiritualitas; ini juga adalah perayaan keberkahan alam yang telah memberikan kehidupan. Namun, dengan cepatnya alih fungsi lahan untuk pariwisata, Bali berisiko kehilangan akar budayanya. Pariwisata adalah pilar ekonomi yang penting, tetapi pariwisata tanpa budaya agraris yang hidup adalah sebuah ironi.

 

Sebagai masyarakat Bali dan pecinta Bali, kita harus bijak dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian budaya. Bali adalah pulau yang lahir dari tanah, dari sawah-sawah hijau, dan dari budaya agraris yang kaya. Mari kita jaga Bali agar tetap menjadi pulau yang dikenal karena keindahan alam dan budaya.

Tulisan ini didedikasikan untuk Spirit Bali Santi

Perjalanan dari Pura Luhur Batukau ke Pura Tanah Lot Sambil menyuarakan kegelisahan akan tanah Bali puluhan tahun yang lalu bersama sahabatku : Dewa Hyang Gus Parna Kauhan, Agung Kayon, Rah Badung, dan Sudirta “Benjo”.

I Ketut Arya Sudiadnyana, SP.,M.Agb

Ketua Bidang Organisasi, DPW PERHIPTANI BALI

What's Your Reaction?

Like Like 0
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0