Momentum Bersama Menuju Kemandirian Pangan
Di balik setiap butir padi yang tumbuh, ada semangat yang tak pernah padam. Di antara idealisme kemandirian pangan dan keterbatasan tenaga, para penyuluh kembali membuktikan bahwa loyalitas mereka tak diukur dari jabatan, tapi dari hasil panen dan kepercayaan petani.
PENDAPAT
Ketika Penyuluh Harus Berpindah (Habis)
Momentum Bersama Menuju Kemandirian Pangan
“Di balik setiap butir padi yang tumbuh, ada semangat yang tak pernah padam.”
Di balik sepiring nasi yang kita santap setiap hari, ada tangan-tangan gigih yang tak pernah lelah menanam harapan. Mereka bukan hanya petani, tapi juga para penyuluh sosok yang berjalan dari sawah ke sawah, membawa ilmu, semangat, dan harapan di tengah segala keterbatasan.
Dengan jumlah yang tak sebanding dan beban yang terus bertambah, mereka tetap berdiri kokoh. Sebab bagi mereka, pekerjaan ini bukan sekadar laporan atau angka, melainkan panggilan hati untuk memastikan rakyat tidak kehilangan nasi di mejanya.
Namun di balik semangat yang membara itu, kenyataan di lapangan tak selalu seindah cita-cita. Dengan kekurangan tenaga, satu penyuluh kini bisa membina ratusan petani. Dalam satu desa saja bisa terdapat belasan kelompok tani, masing-masing dengan permasalahan yang berbeda. Belum lagi laporan rutin, rapat koordinasi, pengisian SIMLUHTAN, hingga berbagai tugas tambahan yang datang silih berganti.
Antara Realitas dan Harapan
Perpindahan penyuluh ke Kementerian Pertanian seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat koordinasi dan arah pembangunan pertanian nasional. Tapi proses besar tentu tentu tak lepas dari gesekan dan penyesuaian.
Rasionalisasi idealnya dilakukan dengan mempertimbangkan luas lahan pertanian aktif, jumlah kelompok tani, dan potensi strategi komoditas bukan hanya pembagian desa secara merata.
Menyiasati Kekurangan dengan Kolaborasi dan Teknologi
Kurangnya tenaga disiasati dengan kolaborasi. Beberapa daerah di Bali mulai menerapkan kerja sama lintas wilayah antarpenyuluh. Penyuluh swadaya pun mengambil peran penting sebagai “perpanjangan tangan” di lapangan.
Teknologi kini menjadi sekutu baru grup WhatsApp, media sosial, hingga aplikasi berani membantu penyuluh berbagi materi dan solusi tanpa selalu hadir secara fisik.
Namun semua sepakat tak ada yang bisa menggantikan sentuhan langsung di sawah.
Antara Ideal dan Nyata
Rasionalisasi WKPP sejatinya adalah upaya menata ulang mozaik pertanian Bali. Ada bagian yang perlu digeser, ada yang harus diperkuat. Perubahan tentu menimbulkan konsekuensi, ada daerah yang kehilangan penyuluh andalan, ada wilayah yang harus berbagi tenaga. Tapi begitulah dinamika adaptasi.
Untungnya, penyuluh Bali sudah terbiasa dengan perubahan mulai dari pola tanam, teknologi, hingga sistem birokrasi. Maka pindah WKPP pun dijalani dengan hati lapang.
Momentum Bersama Menuju Kemandirian Pangan
Rasionalisasi WKPP bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal babak baru.
Babak di mana penyuluh berdiri dalam satu sistem nasional yang utuh, dengan arah dan komando yang seragam.
Kekurangan tenaga mungkin masih terasa, terutama di daerah sentra seperti Tabanan dan Gianyar. Namun dibalik itu, terdapat potensi besar untuk memperkuat kolaborasi, inovasi, dan solidaritas antar penyuluh.
serupa dengan semangat PERHIPTANI Bali yang menjunjung profesionalisme dan kebersamaan, perpindahan ini harus dimaknai bukan sebagai perpisahan, melainkan penyatuan langkah menuju kemandirian pangan Bali.
Dan ketika senja turun di atas hamparan sawah Bali, langkah para penyuluh tak pernah benar-benar berhenti. Mungkin mereka akan pindah wilayah, menghadapi tantangan baru, atau harus berbagi tenaga. Namun semangat itu tetap satu garis lurus dari sawah hingga meja makan rakyat.
What's Your Reaction?
Like
0
Dislike
0
Love
0
Funny
0
Angry
0
Sad
0
Wow
0