Kadek Dwi Septiari, SP: “Ibu Peri di Balik Sawah, di Rumah Ia Menyemai Cinta”

Meski tanggung jawabnya banyak, tak pernah kehilangan semangat. Dia pun percaya, setiap hal yang dilakukan dengan hati akan membuahkan hasil. Petani itu dianggap guru, dari mereka ia belajar arti kerja keras dan kesabaran.

Oct 31, 2025 - 04:20
Oct 31, 2025 - 04:25
 0  62
Kadek Dwi Septiari, SP:  “Ibu Peri di Balik Sawah,  di Rumah Ia Menyemai Cinta”

 Kadek Dwi Septiari, SP:

“Ibu Peri di Balik Sawah,  di Rumah Ia Menyemai Cinta”

Pagi masih lembut ketika deru motor terdengar membelah udara sejuk di antara pepohonan Desa Saba, Blahbatuh, Gianyar. Di atas motor itu, seorang perempuan berhelm melaju mantap menuju Tabanan. Dia adalah Kadek Dwi Septiari, SP, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Dia membawa semangat, tanggung jawab, dan cinta yang tumbuh di antara ladang dan rumah.

Selepas menyiapkan sarapan dan kebutuhan dua buah jantung, Septi berpamitan lembut kepada suami. “Tugas sudah menunggu,” singkatnya sambil tersenyum.

Setiap hari, ibu dua anak ini menempuh jarak sekitar 25 kilometer dengan waktu tempuh hampir 50 menit perjalanan. Perjalanan panjang dari Blahbatuh ke Tabanan bukan sekadar rutinitas, melainkan bentuk nyata dedikasinya untuk dunia pertanian yang ia sayangi.

Antara Sawah dan Rumah

Lulusan S1 Agribisnis Pertanian Universitas Udayana tahun 2011 ini berasal dari Banjar Blangsinga, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Sejak muda, dunia pertanian sudah akrab dalam kesehariannya. Ia gemar berkebun, memelihara tanaman, dan menikmati waktu di tengah dedaunan hijau. Septi tak hanya pandai menyeimbangkan tugas di lapangan, tapi juga berjanji sebagai ibu dari dua anak.

“Kadang kalau sudah di sawah, waktunya terasa cepat sekali. Tapi saya selalu sempatkan pulang sakit, supaya bisa menemani anak belajar,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Baginya, sawah dan rumah sama pentingnya. Di sawah, ia mendampingi petani memahami inovasi pertanian. Di rumah, ia menanam nilai tanggung jawab dan kasih pada keluarga kecilnya.

Kecintaannya pada tanah dan tanaman membawanya menjadi Penyuluh Pertanian Lapangan sejak 2019. “Jadi PPL itu membuat saya banyak belajar, bukan hanya soal pertanian, tapi juga soal manusia,” ujarnya tersenyum.

Sebelum itu, Septi sempat menjadi tenaga outsourcing di Dinas Pertanian Provinsi Bali dan ikut terlibat dalam program Simantri sejak tahun 2012 hingga 2018, program pengembangan sistem pertanian terpadu yang menghubungkan peternakan, pertanian, dan lingkungan. Di tahun yang sama, perjuangannya membuahkan hasil. ia lulus CPNS dan mendapat penempatan di Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan.

Awalnya, ia bertugas di Kecamatan Baturiti, sebelum akhirnya berpindah ke Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Tabanan. Kini, wilayah binaannya meliputi Dajan Peken, Desa Tunjuk, dan Desa Gubug.

“Ibu Peri” Bagi Petani dan Rekan

Bagi rekan-rekannya, Septi bukan sekadar penyuluh. Ia adalah sosok yang sabar, ringan tangan, dan selalu siap membantu siapa pun tanpa pamrih.

“Dia itu orangnya lembut, tapi tegas. Kalau ada teman kesulitan laporan, Septi pasti bantu. Kami biasa panggil dia ‘ibu peri’,” ujar salah satu rekannya sambil tersenyum.

Bagi para petani binaannya, Septi adalah tempat bertanya, tempat curhat, bahkan tempat mencari semangat. Ia tak segan turun langsung ke sawah, berdiri di antara lumpur dan batang padi, mendengarkan cerita petani yang resah karena cuaca atau hama.

Namun, di balik kebaikan dan senyumnya, Septi mengaku ada tantangan besar dalam pekerjaannya.
“Sekarang administrasi semakin banyak. Kadang waktu ke lapangan jadi terbatas, apalagi jumlah PPL juga makin sedikit,” keluhnya dengan nada jujur.

Antara Laporan dan Lapangan

Selesai mendampingi petani di lapangan, Septi biasanya tak langsung pulang. Ia menepi ke kantor BPP Tabanan untuk menyusun laporan Luas Tambah Tanam (LTT) data penting yang harus dilaporkan setiap hari.

“Laporan LTT ini jadi dasar pemantauan capaian tanam di wilayah kami. Jadi harus tepat dan cepat. Kalau terlambat, wah gawat, bisa diumumkan grup WatsApp,” ujarnya sambil menatap layar laptop yang penuh tabel angka.

Rutinitas administrasi ini kerap ia selesaikan menjelang sore. Jari-jarinya menari di atas laptop.Terkadang diselingi telepon dari petani yang meminta bimbingan. Di saat teman-teman lain mulai berkemas pulang, Septi masih tekun memeriksa satu per satu data dari tiap desa binaannya agar tak ada yang terlewat.

“Kalau sudah selesai, rasanya lega. Karena itu bukti kerja kami di lapangan,” ucapnya sambil tersenyum.

Perjalanan Panjang, Semangat Tak Pernah Surut

Setiap pagi, dari Blahbatuh menuju Tabanan, menembus jalan-jalan pedesaan yang berliku. Hujan, panas, bahkan debu tak pernah mampu menghentikan langkahnya yang penuh niat. “Yang penting hati ikhlas. Kalau niatnya baik, jalan selalu terasa ringan,” ujarnya pelan.

Setibanya di rumah menjelang malam, ia berganti peran menjadi ibu dan istri. Ia menyiapkan makan malam, menemani anak-anak belajar, lalu kembali menatap laptopnya untuk menuntaskan laporan harian.

“Kadang mereka duduk di samping saya, tanya kenapa mama belum tidur,” ceritanya sambil tertawa kecil. “Saya bilang, mama lagi bantu-bapak petani biar hasil panennya bagus.”

Di Antara Lelah dan Cinta

Meski tanggung jawabnya tak ringan, Septi tak pernah kehilangan semangat. Ia percaya bahwa setiap hal yang dilakukan dengan hati akan membuahkan kebaikan.

“Petani itu guru saya. Dari mereka saya belajar arti kerja keras dan kesabaran,” ucapnya penuh makna.

Baginya, menjadi penyuluh bukan sekedar profesi, melainkan panggilan jiwa—sebuah pengabdian yang menumbuhkan bukan hanya padi dan sayur, tetapi juga harapan di hati para petani. (Trio.B)

Koresponden Ratna Dewi DPD Perhiptani Tabanan

What's Your Reaction?

Like Like 7
Dislike Dislike 0
Love Love 5
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0