Komang Wirama : “Dari Kontraktor, Banting Stir Jadi Petani”

Siapa sangka, di balik tangan-tangan terampil yang kini memanen bawang merah di Subak Celuk, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, tersimpan kisah luar biasa seorang anak muda yang pernah berjaya di dunia kontraktor. Dialah I Komang Wirama Putra, sosok petani muda yang kini menjadi sorotan karena kegigihannya membangun kembali kehidupan dari nol melalui dunia pertanian.

Oct 13, 2025 - 05:18
 0  100
Komang Wirama :  “Dari Kontraktor, Banting Stir Jadi Petani”

Komang Wirama :

“Dari Kontraktor, Banting Stir Jadi Petani”

Siapa sangka, di balik tangan-tangan terampil yang kini memanen bawang merah di Subak Celuk, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, tersimpan kisah luar biasa seorang anak muda yang pernah berjaya di dunia kontraktor. Dialah I Komang Wirama Putra, sosok petani muda yang kini menjadi sorotan karena kegigihannya membangun kembali kehidupan dari nol melalui dunia pertanian.

Alumnus Fakultas Teknik Universitas Udayana ini memulai kariernya di dunia konstruksi sejak tahun 2006. Bermodal pengetahuan teknik dan semangat muda, Wirama terjun ke bisnis proyek bangunan dan dengan cepat menapaki tangga kesuksesan. Di usia yang masih terbilang muda, ia sudah menikmati hasil jerih payahnya hidup mapan, pekerjaan lancar, dan keuangan stabil.

“Saat itu rasanya cuan datang begitu mudah. Proyek lancar, hasil besar, dan hidup pun terasa mapan,” kenangnya sambil tersenyum tipis, mengingat masa keemasannya di dunia kontraktor.

Namun, roda kehidupan tak selamanya berputar di atas. Ketika pandemi Covid-19 melanda pada tahun 2020, dunia konstruksi mendadak lumpuh total. Proyek-proyek berhenti, pembayaran tersendat, dan perlahan usahanya ikut terhenti.

“Dalam sekejap, semua berubah. Pekerjaan berhenti, karyawan tidak bisa digaji, dan saya harus menjual aset satu per satu untuk bertahan,” tuturnya mengenang masa paling berat dalam hidupnya.

Bisnis yang dulu menjadi sumber kebanggaan, kini meninggalkan ruang hampa. Semua hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun nyaris lenyap. Wirama sempat kehilangan arah, menatap masa depan dengan kebingungan hingga akhirnya sebuah keputusan sederhana mengubah segalanya, kembali ke tanah kelahiran, menjadi petani.

Menanam dari Nol, Awal Kebangkitan

Tahun 2022 menjadi titik balik dalam hidup Wirama. Saat dirinya tengah berjuang memulihkan semangat, orang tuanya yang telah menua menyerahkan tanggung jawab sebidang tanah tak lebih dari satu hektare di Subak Celuk, Desa Medahan. Sebidang tanah yang dulu hanya ditanami padi secara musiman itu, kini menjadi harapan baru bagi keluarga.

Awalnya, langkah itu diambil dengan keraguan. Dunia pertanian terasa asing baginya yang lebih terbiasa dengan beton, baja, dan desain konstruksi. Namun naluri bertahan hidup mendorongnya untuk mencoba. Ia mulai belajar, bertanya kepada petani setempat, dan memantau langsung cara mereka menanam.

“Saya mulai dari nol. Tidak punya pengalaman bertani sama sekali. Tapi saya berpikir, kalau dulu saya bisa sukses di proyek, kenapa tidak di lahan sendiri?” katanya dengan nada yakin.

Pilihan jatuh pada bawang merah, komoditas hortikultura dengan masa panen cepat dan harga jual relatif stabil. “Hanya dua bulan sudah bisa panen, hasilnya bisa disimpan lama, dan harga jualnya cukup menjanjikan dibanding padi,” tambahnya.

Dengan ketekunan yang sama seperti saat menjadi kontraktor, Wirama mulai mengelola tanah warisan itu. Ia menanam varietas lokal Desa Songan dari Kintamani, Bangli. Dari luasan kecil di musim pertama, ia berhasil meraup keuntungan sekitar Rp40 juta — hasil yang membuatnya yakin bahwa pertanian bisa menjadi jalan hidup baru.

Namun perjalanan itu tidak selalu mulus. Ketika semangatnya memuncak dan ia memperluas lahan hingga 1 hektare, dua kali panen berikutnya justru gagal. Cuaca tak menentu dan serangan hama membuatnya rugi besar.

“Saat itu rasanya seperti jatuh untuk kedua kali. Tapi saya tidak mau menyerah lagi,” ucapnya tegas.

Berkat bimbingan penyuluh pertanian dan dukungan dari Dinas Pertanian Kabupaten Gianyar, Wirama belajar memperbaiki pola tanam, mengatur waktu tanam, dan memanfaatkan mulsa jerami untuk menjaga kelembapan tanah. Perlahan, hasil taninya mulai menunjukkan peningkatan.

“Menjadi petani itu tidak mudah, tapi ada kepuasan yang tidak bisa dibeli. Saya melihat hasil dari keringat sendiri, dan hidup terasa lebih tenang,” ujarnya sambil tersenyum tulus.

Dari Lahan Bera ke Panggung Kehormatan

Kerja keras memang tak pernah mengkhianati hasil. Setelah dua tahun penuh perjuangan, nama I Komang Wirama Putra akhirnya mulai dikenal luas di kalangan petani dan instansi pertanian di Gianyar. Inovasinya dalam memanfaatkan lahan bera menjadi lahan produktif bawang merah tidak hanya meningkatkan hasil panen, tetapi juga menginspirasi petani muda lainnya di Bali.

Puncak pengakuan itu datang pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2025, di Balai Budaya Gianyar. Di hadapan para pejabat daerah, penyuluh, dan tokoh masyarakat, Wirama berdiri tegak menerima Penghargaan Inovasi Bidang Pertanian Kabupaten Gianyar.

Tak berhenti di situ, kiprahnya di dunia pertanian kini semakin luas. Ia resmi bergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Gianyar sebuah organisasi yang menjadi wadah bagi petani andalan, pelaku agribisnis, dan pejuang pertanian muda.

Analisis Usahatani dan Refleksi Hidup

Dalam musim tanam terakhir, ia menggarap lahan seluas 35 are dengan menanam bawang merah varietas Bali Karet. Hasilnya, 2,1 ton bawang kering berhasil ia panen. Dengan harga jual rata-rata Rp25.000 per kilogram, pendapatan kotor yang diperoleh mencapai sekitar Rp52,5 juta.

Dari sisi pengeluaran, biaya produksi sebesar Rp23,6 juta meliputi pengolahan tanah, pembelian bibit, tenaga kerja, pestisida nabati, dan perawatan lahan menunjukkan bahwa usaha taninya efisien dan terukur. Artinya, Wirama berhasil mencatat keuntungan bersih sekitar Rp28,9 juta per musim tanam, dengan margin laba lebih dari 55%. Bila dihitung dengan masa tanam hanya 60–65 hari, usahanya tergolong cepat balik modal dan memiliki arus kas positif.

“Saya belajar bahwa bertani itu bukan sekadar menanam, tapi juga mengelola risiko, menghitung peluang, dan menjaga keseimbangan dengan alam,” ujarnya reflektif.

Kisahnya menjadi bukti bahwa pertanian bukan sekadar masa lalu, melainkan masa depan ekonomi kerakyatan yang penuh potensi. Dan di tangan generasi muda seperti Wirama, tanah bukan lagi sekadar tempat berpijak melainkan ladang harapan yang tak pernah berhenti tumbuh.

What's Your Reaction?

Like Like 0
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 2