Hari Tani: Refleksi Perjuangan, Cita-Cita, dan Kenyataan di Ladang

perjuangan hak atas tanah dan kesejahteraan petani sejak UUPA 1960. Dibahas tantangan modernisasi, regenerasi petani, akses teknologi, penyempitan lahan, serta urgensi peran pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita pertanian berkelanjutan.

Jul 22, 2025 - 21:42
 0  3
Hari Tani: Refleksi Perjuangan, Cita-Cita, dan Kenyataan di Ladang

Pada tanggal 24 September setiap tahunnya, kita memperingati Hari Tani Nasional. Buat sebagian orang, mungkin Hari Tani hanya dianggap hari biasa mungkin malah lupa kalau ini hari yang istimewa. Tapi, buat para petani, Hari Tani bukan sekadar tanda di kalender. Ini adalah hari yang mengingatkan kita semua pada perjuangan panjang untuk merebut kembali hak atas tanah dan kesejahteraan. Sebuah perjuangan yang diresmikan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960, menggantikan aturan kolonial yang jauh lebih berat sebelah, yaitu Agrarische Wet 1870. Cita-citanya jelas: tanah untuk petani, bukan untuk pemilik modal besar.

 

Tapi, apakah mimpi dan cita-cita itu sudah terwujud sepenuhnya? Kalau kita ngobrol sama para petani, mereka mungkin hanya bisa tersenyum getir. Cita-cita masih di angan, tapi kenyataan di ladang ternyata tak seindah itu.

Sebelum kita lanjut ngomongin kondisi petani hari ini, mari mundur sejenak dan lihat bagaimana semua ini dimulai. Jadi, begini ceritanya. Pada masa penjajahan Belanda, tepatnya di tahun 1870, lahirlah Agrarische Wet. Aturan ini pada dasarnya memberikan akses luas kepada para tuan tanah dan perusahaan besar alias kapitalis untuk menguasai lahan di Indonesia. Akibatnya, petani kecil yang dulunya punya hak atas tanahnya sendiri, jadi tersingkir. Mereka cuma jadi buruh tani di tanah mereka sendiri. Ironis, kan?

 

Nah, setelah Indonesia merdeka, masalah tanah tetap jadi isu besar. Pemerintah sadar bahwa untuk mensejahterakan rakyat, terutama para petani yang jumlahnya mayoritas, perlu ada reformasi agraria. Maka, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria pada 24 September 1960, yang menjadi cikal bakal peringatan Hari Tani Nasional. UUPA ini bisa dibilang adalah langkah besar untuk memulihkan hak-hak petani atas tanah mereka, dan melindungi mereka dari ketidakadilan agraria. Intinya, tanah kembali ke tangan rakyat, bukan dikuasai oleh segelintir orang.

Bagi Soekarno, petani adalah tulang punggung bangsa. Jadi, wajar kalau mereka harus diberi perlindungan dan keadilan yang layak. Dan bukan hanya itu, UUPA juga membawa semangat untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan memastikan mereka bisa mengelola lahan secara mandiri. Namun, seperti yang kita tahu, teori seringkali lebih manis daripada praktik.

 

Sekarang, mari kita lompat ke era modern. Cita-cita besar yang lahir dengan semangat Hari Tani tadi mungkin masih ada di hati kita, tapi bagaimana dengan kenyataannya? Salah satu indikator yang sering dipakai untuk melihat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani atau disingkat NTP. Ini ibaratnya seperti "gaji”-nya para petani. Jadi, NTP ini membandingkan harga yang diterima petani dari hasil pertanian mereka dengan harga yang harus mereka bayar untuk kebutuhan produksi dan konsumsi sehari-hari.

Kabar baiknya, NTP pada tahun ini tercatat naik sekitar 0,20% dibandingkan tahun lalu. Kabar buruknya? Kenaikan NTP ini mungkin terdengar baik, tapi sebenarnya belum cukup untuk bikin dompet petani jadi lebih tebal. Kalau dipikir-pikir, ini seperti dapat kenaikan “gaji” sedikit, tapi biaya hidup ikut naik juga. Hasilnya? Ya, hidup petani mungkin sedikit lebih baik dari sebelumnya, tapi masih jauh dari kata sejahtera.

 

Dan itu baru satu sisi. Kondisi petani sawah kita hari ini juga menunjukkan tren yang cukup mengkhawatirkan. Rata-rata usia petani sekarang lebih dari 50 tahun. Kebayang nggak kalau di lapangan sepak bola, mayoritas pemainnya adalah pemain senior? Kondisi pertanian kita sekarang seperti itu. Regenerasi petani terhambat, karena profesi petani dianggap tidak menarik bagi anak muda. Banyak yang lebih tertarik untuk kerja di kota, menjadi pegawai kantoran, atau bahkan menjadi YouTuber dan influencer. Profesi petani? Ah, itu cuma jadi pilihan terakhir kalau karier lain nggak berjalan lancar.

Coba bayangkan, anak-anak muda sekarang lebih memilih untuk nongkrong di kafe, ketimbang memegang cangkul di sawah. Bukan salah mereka juga sih.Profesi petani belum bisa memberi kepastian finansial yang stabil, dan belum ada *"glamour"* yang bikin orang tertarik. Padahal, tanpa petani, mau makan apa kita?

 

Berbicara soal regenerasi petani, salah satu alasan yang membuat profesi ini kurang diminati adalah minimnya inovasi dan teknologi di sektor pertanian. Di zaman serba digital ini, kita butuh teknologi yang lebih maju dan “ramah petani”. Tapi masalahnya, teknologi pertanian canggih itu mahal, dan banyak petani kecil kesulitan untuk mengaksesnya. Mereka akhirnya tetap menggunakan metode tradisional yang efisiensinya tentu kalah jauh dibanding pertanian modern.

 

Seandainya teknologi ini bisa diakses dengan lebih mudah, mungkin profesi petani bisa lebih menarik bagi anak muda. Bayangkan kalau ada “startup” yang fokus bikin aplikasi pertanian atau alat-alat inovatif dengan harga terjangkau. Siapa tahu nanti kita bisa lihat petani muda pakai drone buat ngecek kondisi sawahnya. Keren, kan?

Tapi kenyataannya, sampai saat ini, modernisasi pertanian belum merata. Di satu sisi, ada petani-petani yang sudah menggunakan teknologi seperti traktor dan pompa otomatis. Tapi di sisi lain, masih banyak petani yang bertani dengan cara tradisional, bergantung pada alam dan cuaca yang semakin tak menentu.

 

Semakin hari, lahan pertanian semakin menyempit. Banyak sawah yang beralih fungsi jadi perumahan, pabrik, atau pusat perbelanjaan. Lahan pertanian yang semakin kecil ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi petani. Dengan lahan yang terbatas, produktivitas pertanian juga menurun.

Di beberapa daerah, petani bahkan tidak lagi punya lahan sendiri. Mereka hanya menyewa atau bekerja di lahan milik orang lain. Kondisi ini tentu menyulitkan mereka untuk berkembang. Tanpa kepemilikan lahan yang jelas, sulit bagi petani untuk mencapai kesejahteraan.

 

Nah, setelah kita ngobrol panjang lebar soal kondisi petani, pertanyaannya sekarang: Apa yang bisa kita lakukan?

 

Pertama, kita harus kembalikan lagi spirit Hari Tani yang mendasari lahirnya UUPA tahun 1960. Semangat memperjuangkan hak-hak petani atas tanah mereka harus tetap kita kobarkan. Meskipun tantangan agraria saat ini berbeda dengan masa lalu, kita masih harus memperjuangkan kesejahteraan mereka.

 

Pemerintah perlu mendorong kebijakan yang mendukung petani kecil, terutama dalam hal akses lahan, teknologi, dan pembiayaan. Modernisasi pertanian harus menjadi prioritas. Jangan sampai petani kita tertinggal jauh di era digital ini.

Selain itu, kita juga perlu mengubah paradigma tentang profesi petani. Petani bukan lagi profesi kelas dua, tapi profesi yang mulia dan penting untuk ketahanan pangan nasional. Kalau para petani mogok, bisa-bisa kita semua kelaparan. Edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya regenerasi petani harus dilakukan, baik melalui media, sekolah, maupun komunitas, serta meningkatkan peran penyuluh pertanian sebagai ujung tombak pembangunan pertanian.

 

Anak-anak muda juga perlu diajak untuk terlibat lebih dalam di sektor pertanian. Siapa bilang petani itu nggak keren? Justru, di era sekarang, pertanian bisa jadi sektor yang menjanjikan kalau kita mau berinovasi. Mungkin saatnya anak muda bikin tren “urban farming” atau “smart farming”, supaya sektor ini bisa lebih menarik di mata generasi milenial dan Gen Z.

 

Jadi, kembali ke pertanyaan awal: Apakah cita-cita Hari Tani sudah terwujud?

 

Jawabannya, belum sepenuhnya. Meskipun sudah ada beberapa kemajuan, seperti kenaikan NTP dan upaya modernisasi, tantangan yang dihadapi petani masih banyak dan kompleks. Mulai dari masalah lahan, regenerasi, hingga akses teknologi. Tapi, bukan berarti kita harus pesimis.

 

Semangat Hari Tani yang diperjuangkan sejak 1960 masih relevan sampai hari ini. Selama masih ada padi

What's Your Reaction?

Like Like 0
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0