“Jejak I Nengah Sukarta, Petani Bali Penggerak Inovasi Pertanian”
Siang itu, di sebuah gazebo sederhana di halaman gudang rumahnya di Desa Sampalan Tengah, Dawan, I Nengah Sukarta menyambut kami dengan secangkir kopi hitam dan senyum ramah. Selama dua jam berbincang, pria asal Banjar Pakel ini berkisah tentang hidupnya — dari buruh pasir hingga petani mandiri yang kini jadi penggerak inovasi pertanian Bali. Sesekali ia tertawa lepas saat mengenang masa muda di kapal lepas pantai.
“Jejak I Nengah Sukarta, Petani Bali Penggerak Inovasi Pertanian”
Siang itu, di sebuah gazebo sederhana di halaman gudang rumahnya di Desa Sampalan Tengah, Dawan, I Nengah Sukarta menyambut kami dengan secangkir kopi hitam dan senyum ramah.
Selama dua jam berbincang, pria asal Banjar Pakel ini berkisah tentang kehidupan — dari buruh pasir hingga petani mandiri yang kini menjadi penggerak inovasi pertanian Bali. Sesekali ia tertawa lepas saat mengenang masa muda di kapal lepas pantai.
Di balik hamparan hijau persawahan di Desa Sampalan Tengah, Dawan, Klungkung, berdiri sosok sederhana yang tak kenal lelah. I Nengah Sukarta, pria asal Banjar Pakel yang hidupnya adalah potret ketekunan dan keberanian dalam merekrut rezeki.
Berbekal warisan lahan seluas 50 are dari orang tuanya, kini total lahan garapan Sukarta telah mencapai 2 hektare. Namun, perjalanan menuju titik ini tidak semulus garis lurus di peta. Sejak kecil, Sukarta sudah terbiasa dengan kerja keras. Saat duduk di bangku SMP di Klungkung, ia sudah mengenal beratnya hidup dengan bekerja di Galian C Tukad Unda, mengangkut pasir sepulang sekolah.
Selepas lulus SMA tahun 1993, masa tiga bulan pengangguran terasa panjang. Hingga nasib baik menghampiri. Ia diterima bekerja di pabrik ikan Bali Raya di Denpasar. Tak lama berselang, Sukarta ditugaskan ke berbagai daerah. Pulau Biak, Ternate hingga Manado.
Selama lima tahun, ia melanglang buana, mencicipi kerasnya dunia kerja lepas pantai.
“Kerja di laut itu tantangan besar. Butuh mental kuat, apalagi banyak godaannya, terutama yang bening-bening,” guraunya sembari tersenyum lebar mengenang masa itu.
Dari Jepang ke Sawah Bali
Petualangan hidupnya tak berhenti di tanah air. Ia sempat dikirim bekerja ke Jepang, di perusahaan Zuzakikoci. Dengan kemampuan bahasa yang nyaris nol, Sukarta hanya berbekal dua kamus — bahasa Inggris dan Jepang. “Kalau orang Jepang bicara, saya cuma manggut-manggut saja. Kalau mau ngomong, buka kamus dulu. Salah sedikit tak apa, yang penting mereka mengerti,” kenangnya sambil tertawa kecil.
Dari Jepang, ia sempat pula ditugaskan ke Micronesia, Phonepe, bahkan Afrika Utara. Namun, di tengah kesuksesan bekerja di luar negeri, cobaan datang di tahun 2006. Sukarta jatuh sakit usus buntu dan paru-paru basah. Setelah menjalani perawatan intensif, ia memutuskan untuk pulang ke Bali dan memulai segalanya dari nol.
Di kampung halamannya, Sukarta kembali bertani dan beternak. Setiap pagi, selepas menyeruput kopi, ia langsung ke ladang mencari pakan sapi sambil mengontrol tanaman. Kini, ia memiliki 8 indukan sapi, 9 ekor babi, tiga unit traktor, dan mesin penyosoh padi berkapasitas 500 kg per jam. “Hasilnya lumayan, cukup untuk bayar SPP anak tiap semester,” ujarnya santai.
Menjadi Motor Inovasi Petani
Tak hanya menjadi petani, sejak 2010, Sukarta dipercaya menjadi Kelian Subak Sampalan Delod Margi, sebuah amanah yang dijalankannya hingga kini. Ia juga aktif di KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) sejak 2011. Ketekunannya membuat rekan-rekan sesama petani dan penyuluh mempercayakan tanggung jawab lebih besar. Ia kemudian didaulat menjadi bendahara KTNA Kabupaten Klungkung, posisi yang dipegangnya dengan penuh tanggung jawab. “Urusan uang petani itu bukan sekadar angka, tapi amanah,” tuturnya.
Tujuh tahun berselang, kiprah I Nengah Sukarta menembus lingkup yang lebih luas. Pada 2019, ia resmi bergabung dalam kepengurusan KTNA Provinsi Bali di Bidang Inovasi dan Teknologi, posisi yang semakin mengukuhkan reputasinya sebagai petani modern yang berpikir maju.
Dalam perjalanannya, Sukarta juga aktif mengikuti ajang Peda (Pekan Daerah) dan Penas KTNA (Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan) di berbagai daerah. Dari forum inilah ia banyak menyerap ide, memperluas jaringan, dan memperkenalkan inovasi pertanian yang lahir dari pengalaman langsung di sawah. Bagi Sukarta, setiap pertemuan bukan sekadar ajang silaturahmi petani, tetapi juga ruang belajar dan berbagi semangat untuk memajukan pertanian Bali.
Ia kerap menjadi narasumber dalam berbagai pelatihan alat dan mesin pertanian (alsintan) mulai dari traktor tangan, mesin penyesoh padi, hingga teknologi pascapanen yang efisien. Dengan gaya bicara lugas dan diselingi humor khas Bali, Sukarta sering kali membuat peserta pelatihan terinspirasi sekaligus terhibur.
Filosofi Hidup dari Tanah dan Keringat
Meski kiprahnya kian dikenal, Sukarta tetap rendah hati. Saat ditanya soal omzet, ia hanya tersenyum dan mengernyitkan kedua alisnya sebagai penanda sumringah. “Ah, itu penting, cukup,” katanya sambil membuang senyum lebar.
Kini, di usianya yang matang, I Nengah Sukarta menjadi teladan ketekunan di desanya. Dari seorang buruh pasir dan pekerja luar negeri, menjelma menjadi petani mandiri yang memegang erat filosofi hidup. Bukan hasil yang utama, tapi usaha tanpa henti untuk terus tumbuh.
What's Your Reaction?
Like
5
Dislike
0
Love
4
Funny
0
Angry
0
Sad
0
Wow
1