Sintya Dewi, Srikandi Kompos dari Kedisan
Di balik postur tubuhnya yang rada gembul dan senyumnya yang teduh, tersimpan keteguhan seorang penyuluh pertanian lapangan. Dialah Ni Kadek Sintya Dewi, SP. Sejak 2020 ia setia membina kelompok tani Kedisan Mandiri. Akhir 2024, ia sukses melahirkan P4S Uma Kedisan Organik. Sintya Dewi tampil percaya diri dalam lomba bergengsi penyuluh pertanian berprestasi versi Perhiptani Bali 2025.

Ni Kadek Sintya Dewi, SP. :
Srikandi Kompos dari Kedisan
Pagi itu Denpasar masih sibuk. Jalan Sudirman penuh lalu lintas, namun rombongan tim penilai penyuluh pertanian berprestasi tetap meluncur. Dari Kampus Udayana menuju desa Kedisan, Tegalalang, Gianyar. Jaraknya 40 kilometer, memakan waktu satu jam. Jalan menanjak, berliku, dengan sawah bertingkat di kiri kanan yang membuat siapa pun ingin berhenti sejenak.
Yang dituju sebuah kelompok tani kecil, Kedisan Mandiri. Di sana, seorang penyuluh berparas ayu sudah menunggu. Ni Kadek Sintya Dewi, SP. Namanya kini ramai dibicarakan. Sejak 2020 ia membina kelompok ini. Dari tangannya lahir inovasi yang membuat banyak orang terkesima Kompos Plus.
Sintya, tidak sendirian. Rombongan tim Juri disambut dengan kesederhanaan. Disitu hadir Kepala Dinas Pertania Kabupaten Gianyar, Ir. Anak Agung Putri Ari, Perbekel Desa Kedisan, Ketua KTNA Gianyar, Ketua Kelompok Tani dan anggotanya serta jajaran Anggota DPD Perhiptani Kabupaten Gianyar.
Kompos itu diformulasikan dari 80 persen bahan organik, 10 persen anorganik, dan 10 persen fermentor. Hasilnya bukan hanya pupuk, tapi gerakan. Gerakan kembali ke alam. Gerakan menjaga filosofi Subak warisan budaya Bali yang sudah turun-temurun.
Komitmen organik itu bukan sekadar slogan. Tahun 2022, Kelompok Tani Kedisan Mandiri membuktikannya. Mereka berhasil meraih sertifikasi organik dari Lembaga Sertifikasi Seloliman (LESSOS). Tidak main-main lahan yang tersertifikasi mencapai 4 hektar. Tanahnya sehat, beras pun jadi sehat. Hasil produksinya, separuh buat kebutuhan keluarga, selebihnya ludes terjual. Beras organiknya dikemas, dengan nilai jual 25.000 – 30.000 /Kg.
Sejak saat itu, mereka tidak pernah mundur. Setiap tahun, selama tiga tahun berturut-turut, kelompok ini menjalani survailen organik. Prosesnya tidak mudah. Petani diperiksa, lahan diteliti, standar dicek ulang. Tapi mereka jalani dengan konsisten.
Hasilnya mutu produksi tetap terjaga, kepercayaan pasar semakin kuat. Yang lebih penting, semangat kembali ke alam benar-benar menjadi praktik nyata.
Suasana Penilaian
Di hari itu, lapangan sawah berubah menjadi ruang diskusi. Ketua Tim Juri, Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna, M.Si., memulai dengan pertanyaan. "Ibu Sintya, Kompos Plus ini sudah terbukti ramah lingkungan. Bagaimana strategi agar inovasi ini bisa direplikasi di desa lain, tanpa kehilangan ruh budaya Subak ?"
Sintya menjawab mantap. "Kami libatkan semua pihak sejak awal dengan pekaseh, hingga akademisi. Kompos Plus bukan hanya produk, tapi gerakan. Melalui P4S Uma Kedisan Organik, siapa pun bisa belajar dan meniru model ini, tetap dengan Subak sebagai jiwa."
Prof. Oka lalu menyusul, "Ada 10 persen bahan anorganik di Kompos Plus. Bagaimana menjaganya agar tetap sesuai prinsip organik ?"
Terimaksih Prof. Oka, Sintya menjawab, "Itu hanya stimulan, jumlahnya kecil dan terkendali. Kami tekankan pada petani bahwa ini bukan jalan pintas, melainkan jembatan menuju sistem organik murni. Filosofi Subak kami jadikan batas agar tidak berlebihan."
Dr. Setiawan menyorot aspek kelembagaan. "Membangun kelompok tani bukan hanya soal teknis. Bagaimana Ibu menjaga kekompakan kelompok sejak 2020, apalagi generasi muda sering enggan turun ke sawah ?"
Sintya menjawab sambil tersenyum. "Kami libatkan semua anggota dalam keputusan agar merasa memiliki. Untuk generasi muda, kami beri ruang di teknologi dan pemasaran. Mereka kelola media sosial, promosi produk, bahkan membuat konten edukasi. Jadi mereka lihat bertani sebagai peluang kreatif, bukan sekadar kerja fisik."
Ketua Kelompok menjawab dengan penuh keyakinan. "Sejak awal, kami tidak hanya belajar membuat kompos, tetapi juga membangun disiplin dan rasa percaya. Kini anggota sudah mampu memproduksi sendiri, dengan jadwal kerja yang jelas. Anak-anak muda pun ikut dalam pemasaran lewat media sosial. Jadi meskipun nanti Ibu Sintya tidak selalu bersama kami, kami sudah siap melanjutkan. Kompos Plus bukan hanya produk, tapi masa depan kami."
Pencapaian dan Harapan
Akhir 2024, kelompok ini membentuk P4S Uma Kedisan Organik. Diverifikasi BBPP Batu-Malang. Awal 2025, keluar hasilnya klasifikasi madya. Madya bukan puncak. Madya hanya undakan. Seperti sawah di Kedisan bertingkat, naik setahap demi setahap.
Kelompok ini juga menjadi pusat pelatihan tematik tentang kompos dan pemberdayaan subak organik, melalui kolaborasi antara pemerintah daerah, institusi pendidikan seperti UNUD, dan sektor swasta seperti ITDC Nusa Dua.
Pertanian di banyak tempat ditinggalkan. Anak muda lari ke kota. Tapi di Kedisan, sawah kembali bernapas. Bukan hanya menghasilkan beras, tapi juga melahirkan inovasi.
Dunia kini sibuk bicara sustainability. Di Kedisan, itu sudah dijalankan tanpa jargon. Dengan pupuk sederhana, dengan budaya Subak, dengan gotong royong.
Ni Kadek Sintya Dewi membuktikan pertanian bukan pekerjaan masa lalu, tapi harapan masa depan.
What's Your Reaction?






